Sosiologi dan potensi yang dibawa
Pertama yang akan saya perkenalkan disini adalah salah satu cabang ilmu sosial humaniora yang secara teoritis langsung berhubungan dengan masyarakat, karena ilmu ini berkembang berdampingan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakatnya itu. Cabang ilmu sosial humaniora ini adalah sosiologi. Yang apabila di telaah secara harfiah sosiologi berasal dari bahasa yunani yaitu socius yang memiliki arti kawan dan logos yang memiliki arti ilmu. Apabila kedua kata tadi digabung maka sosiologi bisa memiliki arti ilmu pengetahuan tentang bagaimna cara untuk berkawan. Definisi yang lain mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. Karena itu, objek kajian dari sosiologi adalah masyarakat. Lebih khususnya sosiologi mempelajari tentang hubungan antar manusia dan bagaimana timbulnya hubungan tersebut di dalam masyarakat.
Masyarakat sebagai objek dari sosiologi memiliki pola yang setiap negara tidak mesti sama. Jadi realita sosial yang terjadi di Indonesia terkadang memiliki penyelesaian yang berbeda dengan realita sosial yang ada di Amerika ataupun di Perancis. Fleksibilitas perkembangan sosiologi ini membuatnya tidak mudah untuk diprediksi dan diatur mau kemana laaju perkembangannya.
Secara gampangnya sosiologi memiliki beberapa tahapan analisis: dasar mula perkembangan ilmu pemgetahuan, fakta sosial yang ada dalam masyarakat saat ini, dan arah masa depannya. Dari ketiga persfektif menagetahui arah masa depan bukan saja sulit diphami tetapi juga sangat sulit unutuk di bangun. Hal ini disebabkan bukan saja karena ilmu sosial pada umumnya lebih bersifat reaktif terhadap kejadian sosial di sekitarnya, tetapi juga karena temuan atau hasil kajian penelitian ilmu sosial kurang terangkai dalam satu sistem temuan yang kontinum dan sustainable per bidang kajian. Dua kelemahan ini adalah sekurang-kurangnya faktor yang membawa sosiologi (dan tentu saja kebanyakan ilmu sosial lainnya) sulit memprediksi dirinya, bahkan jauh lebih sulit ketimbang memprediksi fenomena yang akan terjadi di sekitarnya.
Perkembangan awal sosiologi
Semua sosiolog hampir tak ada yang membantah jika disebutkan bahwa Comte adalah orang yang pertama kali mengenalkan sosiologi sebagai ilmu di Perancis dan yang pertama juga di muka bumi. Namun sebelum itu banyak gejala, atau meminjam istilah yang digunakan John Lewis Gillin pada awal abad ke 20, menyebut sebagai adanya sociological attitude yakni ‘sikap sosiologis’ yang ditunjukkan oleh para tokoh atau ilmuwan yang sedang menerangkan persoalan masyarakat atau kemanusiaan. Jadi, maksudnya, ada tanda atau clues di mana orang mengemukakan analisisnya yang menunjukkan ciri-ciri sosiologis. Pemecahan masalah sosial juga menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan pendekatan yang bertipologi sama. Oleh sebab itu, Gillin menyebutkan pendekatan demikian itu sebagai presociological approach to sociology. Tentu saja bahwa terminologi sosiologi belum ada, sebelum kemudian Comte mengemukakannya secara eksplisit (lihat John Lewis Gillin, “The Development of Sociology in the United States”, American Sociological Society, vol XXI, 1927).
Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang masyarakat meningkat pada cakupan yang Iebih mendalam yakni menyangkut susunan kehidupan yang diharapkan dan norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Sejak itu. berkembanglah suatu kajian baru tentang masyarakat yang disebut sosiologi. Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar. L Laeyendecker mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis, tumhuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15, peruhahan di bidang sosial dan politik, perubahan yang teijadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther. meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern. berkembangnva kepercayaan pada diri sendiri.
Metodologi selalu lahir kemudian, ia merupakan barang baru yang modern dan bergengsi. Pada masa-masa awal, yang penting adalah ‘analisis menerangkan’
(explanating analysis) dengan mengutamakan berpikir dan berpikir, merenungkan dan merenungkan. Oleh sebab itu ilmu pengetahuan modern yang kemudian bermetode modern itu semuanya bermula dari pemikiran filsafat. Sosiologi sendiri bermula dari ‘sikap berpikir sosiologis’ yang mulai populer akibat adanya revolusi politik di Perancis (1792-1802) dan revolusi industri di Inggris (berawal di pertengahan abad 19). Jika di Perancis muncul tokoh Auguste Comte dan Emile Durkheim, di Inggris muncul lebih kemudian adalah Herbert Spencer dan Radcliffe-Brown, dan jangan lupa pada awal abad ke 19 juga telah muncul Max Weber di Jerman. Mengapa kedua revolusi itu, terutama revolusi Perancis mampu menggerakkan orang untuk berpikir sosiologis? Karena revolusi Perancis telah mengakibatkan kerusakan pada struktur sosial yang luar biasa pada masyarakat Perancis dan dampaknya yang meluas ke seluruh daratan Eropa. Ekonomi sulit bangkit kembali dan tidak ada satupun para pemikir ekonomi yang mampu memberi jalan agar ekonomi bisa bangkit, semua orang mengalami jalan buntu. Situasi dan kondisi yang demikian mendorong para pemikir sosial memutar otak mereka dan kemudian menjadi berkah kepada sosiologi di kemudian hari. Berkah dari pemikiran sosiologi yang spektakuler adalah lahirnya demokrasi di Perancis dan kemudian menjalar di Eropa, dan kemudian di Amerika menemui lahan suburnya.
Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules Of Sosiological Method. Meskipun demikian, atas jasanva terhadap lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi. Meskipun Comte mendapatakan istiiah Sosiologi, Herbert Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles of Sociology. Di dalam buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. Ia menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas di masyarakat. Menurut Comte, suatu organ akan lebih sempurna jika organ itu bertambah kompleks karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam bagian-bagiannya. Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah system yang tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme hidup. Evolusi dan perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dan homogen ke heterogen dan kondisi yang sederhana ke yang kompleks. Setelah buku Spencer tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang dengan pesat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Amerika adalah salah satu bagian dunia ini ynag ilmu sosiologinya sangat berkembang pesat. Kemajuan sosiologi di Amerika demikian pesatnya karena setelah itu tokoh-tokoh besar yang lebih modern lahir dan besar di Amerika. Mereka antara lain, Talcott Parsons, Robert K. Merton, Lewis A. Coser, dan bahkan Bronislaw Malinowski yang berdarah Rusia. Sebelum itu adalah pionir awal seperti, Charles Horton Cooley, Albion Small, William Graham Sumner, Edward A. Ross, Lester F. Ward, Franklin Henry Giddings dan lain-lain nama yang mungkin agak kurang akrab di telinga mahasiswa Indonesia. Tentu saja perlu disinggung bahwa di Jerman ada Ralph Dahrendorf dan di Perancis bercokol Claude Levi-Strauss yang juga sangat dikenal di daratan Amerika. Banyak sekali tokoh dan pemikir sosiologi yang berpengaruh sejak abad ke-19 sampai awal abad 21 ini yang tak mungkin dan juga tak perlu disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.
Perkembangan sosiologi di Indonesia
Jauh sebelum Indonesia berwujud Indonesia sudah banyak pujangga kerajaan yang memiliki konsep yang berada dalam lingkup sosiologi, tetapi karena memang ilmu ini belum dirumuskan hanya konseplh yang berkembang, konsep tentang kemasyarakatan dan semua yang berhubungan dengan konsep ini. Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnva, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak mempraktikkan konsep-konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dan berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa, Belanda demikian lama bertahan dan menguasai nusantara karena mereka menguasai benar tipologi masyarakat yang dijajahnya. Demikianlah kita kenal misalnya Krom, Veth dan Snouck Hurgronje yang saya sebutkan tadi, merupakan para pejabat merangkap pemikir yang boleh dikatakan ahli kemasyarakatan, dan sekaligus sebagai cikal bakal yang memulai kajian-kajian berbau sosiologi di Indonesia. Mereka menguasai struktur masyarakat dan banyak menguasai hukum adat di berbagai belahan wilayah Indonesia masa itu (akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20). Sejak tahun 1920 mulai timbul minat sarjana-sarjana Belanda untuk memahami masyarakat lebih luas. gejala-gejala yang disoroti tidak hanya terbatas pada lingkungan suku atau kelompok etnik, tetapi lebih makro lagi. Di antara mereka antara lain adalah B. Schrieke (1890-1945) yang menulis sejarah yang dikawinkan dengan ethnografis, sehingga tulisan-tulisannya bercorak sosiologi. Salah satu hasil karyanya adalah tentang akulturasi. Schrieke juga mengulas pergeseran kekuasaan politik dan ekonomi di nusantara antara abad ke- 16 sampai abad ke-17. Tulisan Schrieke banyak berbahasa Belanda, baru pada tahun 1955 beredar kumpulan tulisannya yang berbahasa Inggris. Selain Schrieke, tokoh Belanda lainnya adalah J.C. Van Leur (tinggal di Indonesia tahun 1934- 1942). Salah satu tulisannya yang dikenal adalah Indonesian Trade and Society. Seorang lagi yang lebih luas dikenal dan juga menulis tentang Indonesia kontemporer adalah Prof. W.F. Wertheim yang meninggal di tahun 2001 dalam usia yang sangat tua, mencapai 102 tahun. Beliau pernah mengajar di Rechts Hogeschool di Jakarta (1937) dan di Institut Pertanian Bogor yang waktu itu masih menjadi Fakultas pertanian UI di Bogor, tahun 1957 ( lihat Sediono MP Tjondronegoro, “Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia”, makalah pada Seminar Nasional “Menggalang Masyarakat Indonesia Baru yang Berkemanusiaan”, Bogor 28 Agustus 2002).
Sebelum Perang Dunia II sosiologi hanya dianggap sebagal ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan Iainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi satu-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Demikianlah kita mengenal awal sosiologi yang dikenalkan oleh para sosiolog yang umumnya memiliki latar belakang ilmu hukum. Tidak heran jika kita mengenal senior-senior sosiolog kita di zaman awal kemerdekaan sampai dengan di tahun 60-70-an berlatar belakang ilmu hukum. Yang terkenal antara lain adalah Prof. Hardjono dan Prof. Soedjito Sosromihardjo di UGM, Prof. Soelaeman Soemardi dan Prof. Soekanto di UI, Prof. Satjipto Rahardjo di UNDIP dan bahkan yang lebih muda, Prof. Soetandyo Wignyo Soebroto di UNAIR. Pengaruh Sosiologi Eropa jelas terhadap sosiologi Indonesia, terutama pengaruh Comte dan Durkheim, Weber, Karl Marx dan Simmel. Pengaruh Sosiolog Amerika belum nampak pada masa awal. Baru pada pertengahan tahun 1950-an Indonesia mulai mengirim mahasiswa mereka belajar ke Amerika jauh lebih banyak daripada ke Eropa. Tercatat antara lain, Selo Soemardjan, Mely G. Tan, Harsya Bachtiar, dan Umar Kayam. Sejak itu pengaruh sosiologi Amerika lebih bergema dan bukubuku karangan sosiolog Amerika memasuki perpustakaan di Indonesia. Mahasiswa mulai mengenal Malinowski, Parsons, Merton, Coser, Jonathan Turner dan banyak yang lain lagi. Perkembangan sosiologi di Indonesia memasuki masamasa yang lebih bergairah.
Sosiologi ada di kampus di indonesia
Pengembngan sosiologi secara resmi di kampus-kampus di indonesia tergolong masih muda daripada dibandingkan dengan cabang ilmu sosial humaniora lainnya di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Ada pertanyaan yang meneruak kenapa perkembangan sosiologi lebih lambat dari pada ilmu yang lain, padahal sosiologi adalah ilmu yang analisis teoretis makro yang mampu menjadi dasar sekaligus memayungi cabang keilmuan sosial yang lain? mengapa sosiologi harus didahului oleh ilmu administrasi negara dan hubungan internasional misalnya. Tercatat dalam sejarah jurusan sosiologi yang pertama kali, jadi yang paling tua di Indonesia ada di Universitas Gadjah Mada, didirikan pada tahun 1955, namun, Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Hubungan Internasional telah didirikan jauh sebelum itu, yakni ketika Fisipol masih berbentuk Akademi Ilmu Politik dan kemudian menjadi Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik UGM di tahun 1949 (lihat Website Sosiologi Fisipol UGM Yogyakarta, Profil, 2009).
Jawabannya terhadap pertanyaan di atas barangkali adalah kembali kepada situasi dan kondisi di sekitar dikembangkannya keilmuan tertentu pada masa itu. Pada masa pascakemerdekaan Indonesia yang baru berdiri tentu kebutuhan terhadap tenaga sarjana yang mampu memenuhi kekurangan sumber daya manusia adalah alasan utama, mengapa jurusan atau keilmuan tertentu itu dipentingkan. Kondisi sumber daya manusia Indonesia pada pascakemerdekaan masih sangat berkekurangan, apalagi kedudukan yang tadinya ditempati oleh para pejabat Belanda atau Jepang ditinggalkan begitu saja tanpa kesiapan alih profesi atau alih kerja yang benar. Kebutuhan terhadap tenaga ahli administrasi negara tentulah harus dipenuhi segera untuk mengisi kekosongan di sektor pemerintahan dalam negeri. Demikian juga pemenuhan tenaga profesional di bidang keahlian diplomasi dan hubungan luar negeri, membutuhkan lulusan ilmu hubungan internasional yang handal bagi memenuhi pos-pos atau jabatan diplomat di luar negeri yang memang masih kosong. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan terhadap sosiologi belum terpikirkan.
Sedikit kesimpulan yang diambil dari jurnal
harusnya Bagaimana?
Ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, kebijakan pemerintah harus berdasarkan persepsi bahwa pendidikan ilmu pengetahuan yang terutama adalah mencerdaskan dan memberdayakan manusia, serta menyelaraskan dan menyempurnakan sikap dan perilakunya. Tujuan utamanya adalah mengangkat martabat manusia ke posisi kemanusiaan yang mulia. Oleh sebab itu, menomorsatukan lapangan kerja adalah paradigma yang salah, karena akan menempatkan secara sistematik manusia Indonesia untuk menjadi robot pekerja, bukan insan ilmu yang mulia. Dengan mengubah paradigma yang salah itu, pendidikan keilmuan di Indonesia akan diarahkan kepada inovasi dan kreativitas, bukan pada program sempit yang terbatas dan tidak sustainable. Memasuki lapangan kerja atau memperoleh pekerjaan memang penting, tetapi bukan menjadi acuan utama pendidikan Indonesia. Persepsi itu hanya akan membenturkan manusia Indonesia kepada esensi kemanusiaan sebagai ‘kreator’ di bumi. Kedua, Atas dasar pikiran di atas, sosiologi Indonesia seharusnya tetap mengarahkan pendidikannya pada penciptaan kecerdasan, pemberdayaan manusia, menyelaraskan dan menyempurnakan sikap dan perilaku. Sosiologi Indonesia menyiapkan pemikir dan pekerja sosiologi yang inovatif, kreatif serta mandiri. Ketiga, sekiranya ingin menggunakan konsep link and match, bukanlah terkait dengan dunia kerja. Konsep ini lebih tepat dikaitkan dengan perubahan masyarakat dan lingkungan. Sejauh gerak perubahan masyarakat dan lingkungan memerlukan advokasi pemikiran dan analisis sosiologi, maka sosiologi dibenarkan bermanuver dengan fleksibel dan menyesuaikan diri kepada kebutuhan masyarakat dan lingkungannya itu. Keempat, sosiolog Indonesia, dimanapun ia bekerja, tetaplah berfungsi sebagai pemikir dan analis sosiologi yang handal. Kemampuan ini telah dibuktikan oleh pejabat-pejabat Belanda di Indonesia. Mereka sosiolog dan mereka juga pejabat publik. Dengan kedudukan rangkap seperti itu mereka tetap seorang pemikir dan analis sosiologi yang handal. Kemampuan mereka di bidang itu sangat kaya dan mampu menyampaikan gagasan sosiologisnya, baik melalui wacana tutur maupun wacana tulis. Kelima, momentum pascareformasi seharusnya dimanfaatkan untuk terus menggalakkan kegairahan perkembangan sosiologi di Indonesia. Analisis tutur maupun tulis di media elektronik, koran, jurnal dan buku-buku seharusnya ‘membanjiri’ publik Indonesia. Kegemaran meneliti dengan minimal dana harus digalakkan. Buang jauh-jauh anggapan bahwa penelitian bisa jalan kalau ada dana besar. Anggapan ini salah besar, karena sering dilandasi oleh pikiran sesat bahwa kegiatan penelitian adalah lapangan kerja untuk cari tambahan uang. Kegiatan penelitian adalah kerja yang membanggakan bagi sosiolog, cara cepat dan tepat memperoleh pengetahuan yang sahih dan kerja yang sangat bermartabat. Penelitian yang bagus adalah penelitian lingkup kecil tapi bermutu dan dapat dilakukan sendiri dan mandiri. Hasil-hasil penelitian disebarkan melalui internet supaya dapat dibaca oleh dunia. Cara ini akan menghantar anda ke dunia internasional dan tunggulah apa yang akan terjadi. Terakhir, masa depan sosiologi Indonesia sangat cerah, terutama bila para sosiolog menyadari kemampuan dan kekuatan analisis mereka bagi kemaslahatan bangsa Indonesia. Dengan demikian mereka harus tidak henti-hentinya menyumbangkan analisis mereka kepada pembuat kebijakan, dan sebaliknya para pembuat kebijakan harus menyadari bahwa tanpa analisis sosiologis yang kuat, kebijakan publik akan cenderung salah sasaran dan berakibat fatal bagi bangsa dan negara.
Sumber :
http://informasiana.com/sejarah-perkembangan-ilmu-sosiologi-terlengkap/
Rahman, Bustami. 2009. Jurnal Perkembangan sosiologi. UBB.